Cukupkah Fasilitas bagi Disability di FISIP? (Kolom 2)
Setiap warga negara
memiliki hak yang sama, peluang yang sama, dan kedudukan yang sama dihadapan
hukum. Tidak hanya hak-hak warga negara normal pada umumnya, tetapi juga
hak-hak untuk penyandang disabilitas. Dan hak-hak penyandang disabilitas itu meliputi
aksesibilitas fisik, rehabilitasi, pendidikan, kesempatan kerja, peran serta
dalam pembangunan, dan bantuan sosial.
Disini saya akan
memfokuskan pembahasan dalam bidang pendidikan untuk para disabilitas. Jumlah
penyandang disabilitas di Kota Semarang tahun 2015 sendiri pun sebesar 6.658
jiwa, yang mana sekian persen dari jumlah tersebut adalah berumur remaja atau
yang harusnya mengenyam pendidikan terutama di Universitas, dari data terakhir
itupun sampai tahun 2018 ini pasti sudah bertambah banyak.
Adanya
sarana dan prasarana untuk penyandang disabilitas di wilayah kampus sebenarnya
sangat-lah penting keberadaannya. Universitas Diponegoro adalah salah satu Perguruan
Tinggi yang ada di Kota Semarang. Dari hasil penelusuran informasi,
Perpustakaan Universitas Dipenogoro Semarang adalah salah satu perpustakaan
yang mulai memikirkan ramah difabel.
Dari hasil
penelusuran sementara tentang adanya layanan difabel di perpustakaan, saat ini
baru ada 2 yang memiliki Difabel Corner
diantaranya adalah Perpustakaan UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, dan Perpustakaan Universitas Brawijaya. Selebihnya
perguruan tinggi baru memberikan akses jalan atau pemanfaatan koleksi di
perpustakaan. Seperti yang dilakukan oleh Perpustakaan Universitas Dipenogoro
Semarang meningkatkan fasilitas ramah difabel dengan menerapkan tangga khusus
yang dibangun menuju hall
perpustakaan Universitas Dipenogoro (UNDIP, 2014:1).
Namun, sebenarnya tidak hanya
fasilitas pada perpustakaan Universitas Diponegoro saja yang harus
diperhatikan, yang mana fasilitas di dalam kampus terutama Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik juga penting.
Seperti yang
disebutkan Permendikbud dalam pasal 5 bahwa fasilitas yang dimaksud adalah
menyediakan sarana dan
prasarana yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas,
diantaranya adalah:
1. Lift pada
gedung berlantai 2 atau lebih
2. Pelabelan
dengan tulisan Braille dan informasi dalam bentuk suara
3. Lerengan
(ramp) untuk pengguna kursi roda
4. Jalur
pemandu (guiding block) di jalan atau koridor di lingkungan kampus
5.
Peta/denah kampus atau gedung dalam bentuk peta/denah timbul
6. Toilet
atau kamar mandi untuk pengguna kursi roda
7. Media dan
sumber belajar khusus, antara lain:
a. Buku-buku
Braille
b. Buku
bicara (talking book)
c. Computer
bicara, scanner dan mesin cetak Braille
d. Berbagai
materi perkuliahan atau bahan bacaan yang berbentuk elektronik
e.
Perpustakaan yang mudah di akses atau
f. Informasi
visual dan layanan informasi berbasis laman (web) yang memenuhi standar
aksesibilitas web (Permendikbud, 2014:4)
Dari 5 poin fasilitas yang
disebutkan Permendikbud diatas, saya tidak banyak melihat adanya sarana prasarana
tersebut di Kampus FISIP. Yang paling bisa saya temui setidaknya adalah
lerengan (ramp) untuk pengguna kursi roda. Selebihnya saya tidak melihat atau
tidak mengetahui lebih banyak lagi.
Dari pengalaman saya sendiri yang
pernah bersekolah di Amerika Serikat, saya benar-benar sangat mudah untuk
menemui fasilitas bagi penyandang disabilitas, seperti toilet khusus disability,
pintu otomatis, penulisan ruangan kelas dengan tulisan Braille, dan sebagainya.
Walaupun memang sedikit jumlah mahasiswa
disabilitas yang ada di FISIP, tetapi kita tetap harus memiliki beberapa
fasilitas tersebut, karena setidaknya kita menghargai dan memenuhi kebutuhan
para penyandang disabilitas tersebut.
Kita tidak menutup kemungkinan hal-hal
seperti tamu, atau pengunjung, atau siapa pun yang sewaktu-waktu akan
mendatangi kampus FISIP namun kurangnya fasilitas bagi mereka, akan sangat
disayangkan. Padahal, yang mana seperti saya sebutkan sebelumnya, setiap warga
negara memiliki hak yang sama, peluang yang sama, dan kedudukan yang sama
dihadapan hukum.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sudah saatnya perguruan tinggi menerapkan perlakuan khusus bagi mahasiswa difabel (tunanetra, tunarungu, tunadaksa) dan ganggungan autis (autistic spectrum disordes) dalam penyediaan fasilitas khusus di wilayah kampus dalam mengakses lingkungan Kampus. Sehingga tidak terjadi diskriminatif yakni melakukan pelayanan yang sama antara mahasiswa difabel dan non-difabel. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pengadaan sumberdaya manusia yang akan melayani dan membuat program untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa difabel. Selain itu dibutuhkan kebijakan universitas, sumber dana dan waktu. Dengan demikian perguruan tinggi tersebut dapat dikatakan ramah difabel.
Sehingga
rekomendasi yang dapat diberikan dalam tulisan ini adalah Universitas sebaiknya
menyediakan fasilitas akses di lingkungan seluruh kampus untuk mempermudah
jalan akses mahasiswa difabel sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Budaya.
Read Users' Comments (0)