Cukupkah Fasilitas bagi Disability di FISIP? (Kolom 2)


Setiap warga negara memiliki hak yang sama, peluang yang sama, dan kedudukan yang sama dihadapan hukum. Tidak hanya hak-hak warga negara normal pada umumnya, tetapi juga hak-hak untuk penyandang disabilitas. Dan hak-hak penyandang disabilitas itu meliputi aksesibilitas fisik, rehabilitasi, pendidikan, kesempatan kerja, peran serta dalam pembangunan, dan bantuan sosial.

Disini saya akan memfokuskan pembahasan dalam bidang pendidikan untuk para disabilitas. Jumlah penyandang disabilitas di Kota Semarang tahun 2015 sendiri pun sebesar 6.658 jiwa, yang mana sekian persen dari jumlah tersebut adalah berumur remaja atau yang harusnya mengenyam pendidikan terutama di Universitas, dari data terakhir itupun sampai tahun 2018 ini pasti sudah bertambah banyak.

Adanya sarana dan prasarana untuk penyandang disabilitas di wilayah kampus sebenarnya sangat-lah penting keberadaannya. Universitas Diponegoro adalah salah satu Perguruan Tinggi yang ada di Kota Semarang. Dari hasil penelusuran informasi, Perpustakaan Universitas Dipenogoro Semarang adalah salah satu perpustakaan yang mulai memikirkan ramah difabel.

Dari hasil penelusuran sementara tentang adanya layanan difabel di perpustakaan, saat ini baru ada 2 yang memiliki Difabel Corner diantaranya adalah Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Perpustakaan Universitas Brawijaya. Selebihnya perguruan tinggi baru memberikan akses jalan atau pemanfaatan koleksi di perpustakaan. Seperti yang dilakukan oleh Perpustakaan Universitas Dipenogoro Semarang meningkatkan fasilitas ramah difabel dengan menerapkan tangga khusus yang dibangun menuju hall perpustakaan Universitas Dipenogoro (UNDIP, 2014:1).

Namun, sebenarnya tidak hanya fasilitas pada perpustakaan Universitas Diponegoro saja yang harus diperhatikan, yang mana fasilitas di dalam kampus terutama Fakultas Ilmu Sosial dan Politik juga penting.

Seperti yang disebutkan Permendikbud dalam pasal 5 bahwa fasilitas yang dimaksud adalah menyediakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas, diantaranya adalah:
1. Lift pada gedung berlantai 2 atau lebih
2. Pelabelan dengan tulisan Braille dan informasi dalam bentuk suara
3. Lerengan (ramp) untuk pengguna kursi roda
4. Jalur pemandu (guiding block) di jalan atau koridor di lingkungan kampus
5. Peta/denah kampus atau gedung dalam bentuk peta/denah timbul
6. Toilet atau kamar mandi untuk pengguna kursi roda
7. Media dan sumber belajar khusus, antara lain:
a. Buku-buku Braille
b. Buku bicara (talking book)
c. Computer bicara, scanner dan mesin cetak Braille
d. Berbagai materi perkuliahan atau bahan bacaan yang berbentuk elektronik
e. Perpustakaan yang mudah di akses atau
f. Informasi visual dan layanan informasi berbasis laman (web) yang memenuhi standar aksesibilitas web (Permendikbud, 2014:4)

Dari 5 poin fasilitas yang disebutkan Permendikbud diatas, saya tidak banyak melihat adanya sarana prasarana tersebut di Kampus FISIP. Yang paling bisa saya temui setidaknya adalah lerengan (ramp) untuk pengguna kursi roda. Selebihnya saya tidak melihat atau tidak mengetahui lebih banyak lagi.

Dari pengalaman saya sendiri yang pernah bersekolah di Amerika Serikat, saya benar-benar sangat mudah untuk menemui fasilitas bagi penyandang disabilitas, seperti toilet khusus disability, pintu otomatis, penulisan ruangan kelas dengan tulisan Braille, dan sebagainya.

Walaupun memang sedikit jumlah mahasiswa disabilitas yang ada di FISIP, tetapi kita tetap harus memiliki beberapa fasilitas tersebut, karena setidaknya kita menghargai dan memenuhi kebutuhan para penyandang disabilitas tersebut.

Kita tidak menutup kemungkinan hal-hal seperti tamu, atau pengunjung, atau siapa pun yang sewaktu-waktu akan mendatangi kampus FISIP namun kurangnya fasilitas bagi mereka, akan sangat disayangkan. Padahal, yang mana seperti saya sebutkan sebelumnya, setiap warga negara memiliki hak yang sama, peluang yang sama, dan kedudukan yang sama dihadapan hukum.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sudah saatnya perguruan tinggi menerapkan perlakuan khusus bagi mahasiswa difabel (tunanetra, tunarungu, tunadaksa) dan ganggungan autis (autistic spectrum disordes) dalam penyediaan fasilitas khusus di wilayah kampus dalam mengakses lingkungan Kampus. Sehingga tidak terjadi diskriminatif yakni melakukan pelayanan yang sama antara mahasiswa difabel dan non-difabel. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pengadaan sumberdaya manusia yang akan melayani dan membuat program untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa difabel. Selain itu dibutuhkan kebijakan universitas, sumber dana dan waktu. Dengan demikian perguruan tinggi tersebut dapat dikatakan ramah difabel.

Sehingga rekomendasi yang dapat diberikan dalam tulisan ini adalah Universitas sebaiknya menyediakan fasilitas akses di lingkungan seluruh kampus untuk mempermudah jalan akses mahasiswa difabel sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Budaya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Menyelamatkan Lingkungan dengan Stop Sedotan Plastik (Kolom 1)

Banyaknya permasalahan lingkungan yang mulai menjamur di masyarakat Indonesia saat ini, selain pemanasan global, pencemaran udara, rusaknya hutan, dan lain sebagainya, sebenarnya ada satu hal kecil yang patut kita perhatikan yang berdampak cukup besar bagi lingkungan kita, yakni sampah sedotan plastik. Plastik membutuhkan 500-1.000 tahun untuk benar-benar terurai.

Penggunaan sedotan plastik sangat lah lekat dalam kehidupan sehari-hari kita. Hal ini memunculkan konsep pasangan gelas dan sedotan sebagai dua hal yang saling melengkapi. Dalam kompilasi data yang disusun Eco Watch, kurang lebih 500 juta sedotan plastik dibuang setiap hari setelah dipakai sekali saja. Sedotan plastik masuk dalam kategori produk berbahan plastik yang 50 persennya dibuang saat sudah selesai digunakan. 

Berdasarkan hasil riset tim peneliti Universitas Georgia di 2017, ditemukan bahwa Indonesia menempati posisi ke-2 negara penyumbang sampah plastik terbesar di dunia. Kota Semarang sendiri memproduksi 1200 ton sampah perhari dan 13% diantaranya ialah sampah plastik. Riset tersebut juga menyebutkan bahwa di tahun 2010, 3,2 juta metrik ton sampah plastik di lautan berasal dari Indonesia. Menurut lembaga Ocean Concervacy (2018), sedotan plastik menempati urutan ke-11 sampah laut yang paling sering ditemukan di dunia. Tak hanya itu, melalui data asumsi kasar Divers Clean Action (2017) memperkirakan pemakaian sedotan plastik di Indonesia mencapai 93,2 juta sedotan setiap harinya, dan hampir seluruhnya hanya sekali pakai. Jumlah konsumsi sedotan per hari andaikan disusun memanjang, panjangnya akan mencapai 16.784 km atau setara dengan jarak Jakarta – Mexico City. Jika diakumulasi seminggu, panjangnya bisa mencapai 117.449 km atau setara dengan jarak 3 kali keliling bumi.

Kampanye Lingkungan
Lalu hal yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut salah satunya yaitu melalui Kampanye Lingkungan. Sudah banyak kampanye-kampanye yang telah diselenggarakan oleh beberapa NGO atau komunitas peduli lingkungan di Indonesia. Salah satunya seperti kampanye #NoStrawMovement yang digagas oleh komunitas Divers Clean Action (DCA). Penyebaran informasi tentang kampanye #NoStrawMovement tak hanya dilakukan secara langsung, namun juga didukung secara online melalui kampanye online dan mengajak tokoh-tokoh publik seperti Nadine Chandrawinata, Hamish Daud, serta Raisa Andriana untuk turut serta dalam mendukung gerakan #NoStrawMovement ini. Selain itu, ada pula bentuk kampanye lain seperti, Skip the Straw, #ZeroWasteLifestyle, dukungan kampanye online, dan kampanye pada car free day. Kegiatan kampanye-kampanye tersebut cukup membantu dan bisa sangat mempengaruhi perilaku masyarakat yang terkena terpaannya. Namun, hal tersebut tetap dilakukan secara perlahan. Tidak langsung benar-benar tidak menggunakan sedotan sama sekali, melainkan kita dapat menggantinya dengan sedotan berbahan bambu atau stainless steel agar dapat digunakan berkali-kali sehingga akan mengurangi penggunaan sedotan plastik sehari-hari. Hal tersebut cukup efektif untuk menjaga lingkungan dengan pengurangan penggunaan sedotan plastik. Yang mana dapat menghasilkan lingkungan bersih dari sampah-sampah plastik.

Menumbuhkan Kesadaran
Dari kampanye-kampanye tersebut lah dapat terciptanya kesadaran dan perubahan perilaku masyarakat menjadi peduli lingkungan, salah satunya dengan mengurangi penggunaan sedotan plastik. Tidak hanya dari individu itu sendiri, melainkan beberapa indsutri makanan juga turut serta seperti yang telah dilakukan oleh KFC Indonesia pada awal Mei 2017 dengan enam gerai KFC di Jakarta sebagai proyek percontohan. Mereka melakukan gerakan pembatasan penggunaan sedotan di beberapa gerai KFC tersebut. Jadi, jika pelanggan butuh sedotan, mereka harus memintanya ke kasir. Dan hal tersebut sangat baik, karena gerai fast food yang merupakan salah satu penyumbang sampah sedotan plastik telah sadar dan setidaknya melakukan peminimalisiran penggunaan sedotan plastik tersebut.

Lalu, apakah kita masih mau menggunakan sedotan plastik sekali pakai? Mari lah jaga lingkungan kita sendiri dengan melakukan hal kecil yang berdampak besar bagi dunia kita!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Berita Radio


Assalamu’alaikum... Selamat pagi pendengar/ Berita Pagi Smart FM Radio kembali hadir di ruang dengar Anda/ bersama saya ---Saviera Maharani Doniyar//

Informasi pertama dari dunia pendidikan/ yaitu tentang pilihan untuk menjadi Job-seeker atau Job-owner setelah lulus kuliah//

Setelah lulus dari dunia perkuliahan/ kita akan dihadapkan oleh dua pilihan yaitu/ apakah kita akan mencari pekerjaan atau membuat lapangan kerja?// Berdasarkan 30 mahasiswa yang telah diwawancarai, menunjukkan  hasil bahwa 63,3% mahasiswa lebih memilih mencari pekerjaan setelah lulus kuliah  atau menjadi Job-seeker dan 36,7% sisanya memilih membuat lapangan kerja dengan menjadi wirausaha atau Job-owner//

Pemilik perusahaan advertising Riri Novita mengatakan/ dengan menjadi Job-owner bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi orang lain dan juga harus berpikir sekian kali lipat karena banyak hal yang harus dipersiapkan/seperti modal/skill/ mental/ dan lain sebagainya/ kalau kita menjadi Job-seeker akan bergantung perusahaan. Jadi fungsinya bisa 2x lebih baik untuk menjadi Job-owner menurutnya. Akan tetapi harus disadari dari tahun ke tahun jumlah lulusan perguruan tinggi akan semakin bertambah tetapi tidak diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan yang terbatas// Apapun pilihan kita, baik menjadi a Job-seeker or a Job-creator, pastikan kita menjadi seseorang yang totalitas dalam menjalaninya. Sehingga setiap benturan akan tampak sebagai kerikil untuk dilewati, bukan dikeluhkan. Mari kita bekerja dengan hati, bukan mengedepankan gengsi//

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Mahasiswa lebih memilih menjadi Karyawan? (Berita Online)


SEMARANG – Setelah lulus dari dunia perkuliahan, kita akan dihadapkan oleh dua pilihan yaitu apakah kita akan mencari pekerjaan atau membuat lapangan kerja? Berdasarkan 30 mahasiswa yang telah diwawancarai (26/09/18), menunjukkan  hasil bahwa 63,3% mahasiswa lebih memilih mencari pekerjaan setelah lulus kuliah  atau menjadi Job-seeker dan 36,7% sisanya memilih membuat lapangan kerja dengan menjadi wirausaha atau Job-owner.

Perbedaan  seorang Job-creator dan Job-seeker, yaitu jika sebagai Job-creator dapat membuka lapangan pekerjaan, mandiri & independen, bebas, lebih kreatif dan dinamis.

Job-owner bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi orang lain dan juga harus berpikir 2x kali lipat karena banyak hal yang harus dipersiapkan seperti modal, skill, mental, dan lain sebagainya” kata Riri Novita pemilik perusahaan advertising di Semarang.

Sedangkan jika sebagai Job-seeker, maka terikat waktu dan tugas, tidak independen, terkungkung & terkekang, dan hanya menjadi "pelayan" bagi atasan.

“Aku akan cari pengalaman dulu di dunia yang menurut aku bisa menunjang karir aku kedepan. Dan juga karena aku belum punya pondasi yang kuat untuk jadi Job-owner jadi aku ambil apa yang memungkinkan dulu” kata Marizkia karyawan Bank BNI.

Apapun pilihan kita, baik menjadi a Job-seeker or a Job-creator, pastikan kita menjadi seseorang yang totaliats dalam menjalaninya. Sehingga setiap benturan akan tampak sebagai kerikil untuk dilewati, bukan dikeluhkan. Mari kita bekerja dengan hati, bukan mengedepankan gengsi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Pilih jadi Job-Seeker atau Job-Owner?? (Berita Cetak)


SEMARANG, Rabu -  Pilihan untuk menjadi Job-seeker atau Job-owner menjadi sebuah problema bagi para mahasiswa setelah lulus. Apakah mereka akan menjadi pekerja kantoran saja atau pengusaha?
 Job-seeker adalah istilah atau label yang dikenakan oleh seseorang yang belum mendapatkan pekerjaan atau sudah memiliki pekerjaan dan berusaha mencari pekerjaan sesuai dengan minat, background pendidikan, maupun dengan bakat kemampuan yang dimiliki dengan cara mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi mengenai perusahaan yang diminati maupun meminta informasi maupun bantuan kolega yang dimiliki. Atau dapat diartikan pula sebagai seseorang yang setelah kuliah lebih memilih untuk mencari suatu pekerjaan daripada membuka usaha sendiri. Sedangkan istilah Job-owner atau Job-creator merupakan seseorang atau badan yang menyediakan lapangan pekerjaan. Bukan hanya pemerintah yang seharusnya menyediakan lapangan pekerjaan atau membuka lapangan kerja baru, akan tetapi kita juga bisa menjadi seorang Job-owner dengan membuka usaha dan menarik beberapa karyawan dalam usaha kita.  Job-owner ini biasa dikenal dengan sebutan pengusaha atau wirausaha.
Saat ini untuk menjadi seorang wirausahawan bukanlah hal yang sulit, dengan kemajuan teknologi semakin mempermudah seseorang untuk menjadi seorang wirausahawan. Sebagai contoh usaha yang sudah menjadi tren saat ini adalah penjualan dan pembelian barang secara online. Penjualan dan pembelian barang secara online ini memberikan keuntungan bagi pihak penjual maupun pembeli. Keuntungan yang didapatkan penjual dari perdagangan online ini yaitu seorang penjual tidak memerlukan lokasi atau tempat tertentu untuk mempromosikan barang dagangannya cukup dengan mempromosikan barang dagangannya melalui media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dll, sehingga hal tersebut dapat menghemat biaya bagi si penjual.
Perbedaan  seorang Job-creator dan Job-seeker, yaitu jika sebagai Job-creator dapat membuka lapangan pekerjaan, mandiri & independen, bebas, lebih kreatif dan dinamis. Sedangkan jika sebagai Job-seeker, maka terikat waktu dan tugas, tidak independen, terkungkung & terkekang, dan hanya menjadi "pelayan" bagi atasan.

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa menjadi Job-owner atau  Job-creator jauh lebih baik dibandingkan menjadi Job-seeker. Hal tersebut dikarenakan menjadi Job-owner dapat mendatangkan manfaat bagi diri sendiri, orang lain, maupun  negara. Manfaat yang didapat untuk diri sendiri yaitu menjadi seseorang pribadi yang lebih mandiri dan lebih bertanggung jawab serta yang lebih penting adalah Job-owner dapat membiayai hidupnya sendiri sehingga tidak menjadi beban bagi orang lain. Manfaat yang didapatkan orang lain yaitu menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang pengangguran dengan kemampuan yang terbatas. Sedangkan manfaat bagi suatu negara yaitu Job-seeker dapat menjadikan suatu negara menjadi lebih maju, mandiri dan bermartabat. 
Namun, dari hasil survei yang dilakukan kepada 30 mahasiswa (26/09/18), menghasilkan bahwa 63,3% dari mereka memilih untuk menjadi Job-seeker. Seperti yang dikatakan oleh salah satu responden, Ahmad Mulyadi (Mahasiswa, 19th) “Milih jadi Job-seeker, karena pengen kerja sesuai passion dulu biar ilmu di kuliah bisa kepake gitu”
Sedangkan sisanya yaitu 36,7% memilih untuk menjadi Job-owner. Salah satu responden, Endivi (19th), mengatakan “Aku pengen buka ladang pekerjaan untuk orang lain. Disamping itu aku pengen kerja yang sesuai sama diriku, kalau aku kerja sama orang lain kan aku yang diatur. Enaknya punya usaha sendiri itu ngga terikat sama apapun”.
Kenyataan bahwa sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja (Job-seeker) daripada pencipta lapangan pekerjaan (Job-creator) merupakan salah satu penyebab tingginya angka pengangguran berpendidikan tinggi. Hal ini dimungkinkan karena sistem pembelajaran yang diterapkan di perguruan tinggi saat ini lebih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukan sebagai lulusan yang siap bekerja dengan menciptakan pekerjaan. Selain itu secara umum aktivitas kewirausahaan mahasiswa relatif masih rendah. 
Sumber lain yang saat ini sudah menjadi pengusaha, Riri Novita, berpendapat bahwa “Dengan menjadi Job-owner bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Kalau kita jadi Job-seeker akan bergantung pada perusahaan. Jadi fungsinya bisa 2x lipat lebih baik menurutku”
Sedangkan, Marizkia Uli Alfiana, sebagai pekerja di salah satu Bank konvensional berkata “Aku serasa punya passion tapi belum pasti passion itu pas buat aku atau ga. Daripada habis lulus wasting time mikirin aku harus gimana, mending do something aja dulu.”
Ia menambahkan pula “Jadi intinya cari pengalaman dulu, di dunia yang menurut aku mungkin bisa menunjang karir aku kedepan. Even ke depan mau berkarir jadi employee yang punya jabatan baik atau pun jadi entrepreneur yang sudah punya banyak channel yang didapet dari kerjaan aku sekarang. Karena aku belum punya pondasi kuat juga buat jadi Job-owner jadi aku ambil apa yang memungkinkan dulu”.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semua pilihan ada ditangan kita dan kita sebagai masyarakat Indonesia harus sadar betul dengan kondisi perekonomian yang ada saat ini. Janganlah menambah beban negara dengan menjadi pengangguran tapi mari kita bersama-sama dan bekerja keras untuk menciptakan perekonomian yang dapat men-sejahterakan seluruh rakyat Indonesia, baik melalui Job-seeker ataupun Job-creator.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Impactful-kah Kampanye Lingkungan? (Softnews)


Banyaknya isu-isu lingkungan yang bermunculan membuat banyak pula orang-orang yang mulai peduli akan isu-isu tersebut. Salah satunya melalui kampanye-kampanye yang dilakukan oleh beberapa organisasi ataupun komunitas yang concern terhadap lingkungan.

Seperti Earth Hour, organisasi ini merupakan kampanye inisiasi publik, yang menyatukan masyarakat dari seluruh dunia untuk merayakan komitmen gaya hidup hemat energi dengan cara mematikan lampu dan elektronik yang sedang tidak dipakai selama 1 jam. Tujuan dari Earth Hour mendorong individu, komunitas, praktisi bisnis, dan pemerintah yang saling berhubungan menjadi bagian dari perubahan untuk dunia yang berkelanjutan. Di mulai dengan langkah awal semudah mematikan lampu kepada dunia tentang perilaku hemat energi yang sudah di lakukan. 

Dalam logo Earth Hour terdapat angka "60" artinya 60 menit fokus pada tindakan positif mengurangi emisi CO2. Tanda "+" artinya kegiatan Earth Hour  tidak hanya dilakukan selama 60 menit saja, tapi juga diikuti dengan perubahan gaya hidup setiap hari. Mulai dari menggunakan transportasi publik, bersepeda, hemat air, tidak buang sampah sembarangan, memilah dan daur ulang sampah, hemat kertas, hingga berkebun dan menanam pohon.

Selain Earth Hour, ada pula organisasi lain yang juga concern terhadap isu lingkungan yaitu World Merit Semarang (WMS). World Merit adalah organisasi pemuda internasional yang mendukung pergerakan untuk menjadi Agent of Change. Dan dalam praktiknya WMS menjalankan Sustainable Development Goals(SDGs)

Seperti yang dikatakan Salman Al Farisi sebagai Ketua WMS, “Hal-hal yang telah dilakukan WMS terhadap isu-isu lingkungan tentu banyak, mulai dari pembiasaan di internal WMS, member-nya juga harus ada impacful ke dalam dan ke luar, yang ke luar salah satunya yaitu ‘A Day Without Straw’ dimana kami memberdayakan sebuah tempat makan di Semarang yang satu hari penuh tidak akan menggunakan sedotan plastik sama sekali. Disitu kami melakukan sosialisasi dan pemahaman terhadap owner-nya dan juga rencana keberlanjutan untuk menindaklanjuti program yang sudah ada sehingga diharapkan restoran tersebut tidak akan menggunakan sedotan plastik lagi. Dan bagi masyarakat yang enggan meminum langsung dari gelas, disarankan memakai sedotan bambu.

Lalu, yang menjadi permasalahan adalah apakah kampanye-kampanye yang telah dilakukan itu benar efektif dan impactful terhadap perubahan perilaku masyarakat atau mahasiswa khususnya untuk memiliki gaya hidup yang Eco-friendly?

Karena seperti yang kita lihat sendiri sering kali hal tersebut hanya dianggap sebagai seremonial. Yang mana setelah dikerjakan atau dilakukan tetapi tidak membawa kesadaran mahasiswa itu untuk benar-benar mengubah cara hidupnya.

Dari 3 mahasiswa yang ditanyai mengenai terpaan kampanye-kampanye tersebut mengatakan bahwa hal tersebut memang kurang efektif adanya. Salah satunya yaitu Jihan Audrisha, mahasiswa UDINUS berkata “Untuk kampanye itu sendiri kurang ber-impact buat aku dan temen-temen karena di dalam proses kehidupan ini kita punya dua ciri manusia, pertama yaitu manusia yang langsung sadar hanya dengan melihat sesuatu, dan kedua adalah manusia yang belum sadar jika mereka belum terkena imbas dari sesuatu yang dibuatnya sendiri”

Jadi, bagaimana sebenarnya kampanye itu dapat digunakan untuk benar-benar mengubah gaya hidup yang Eco-friendly?

Salah satu aktivis lingkungan, Hairudin mengatakan “Jadi, setiap kampanye yang dilakukan oleh pelaku penggerak itu harus komitmen dulu untuk merubah diri sendiri, harus idealis namun realistis untuk tidak melakukan yang sudah di kampanye kan, dan banyak-banyak diskusi sama temen-temen deket/kampus menanam pemikiran cinta lingkungan dengan hal yang simple.”

Menurut Rudi, memang benar setiap kegiatan/kampanye lingkungan tidak berdampak langsung terhadap masyarakat/mahasiswa untuk mengikuti apa mereka kampanyekan, karena setiap individu memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda.

Ia menambahkan pula, walaupun tidak terlalu berdampak langsung, setidaknya ada beberapa individu yang penasaran dengan suatu kampanye/kegiatan sehingga individu tersebut ingin mencari tahu lebih dalam dari kampanye tersebut.

Sedangkan menurut Fakhri Kusuma, anggota Earth Hour Semarang, untuk benar-benar ingin mengubah perilaku melalui kampanye, sebaiknya cari tahu dahulu perilaku atau latar belakang dari audiens yang ingin disasar seperti dari aspek demografi, geografi, dan psikografi. Jika kita sudah mengetahui, maka langkah selanjutnya mengatur strateginya. Jadi, kampanye yang baik adalah melalui riset dan data yang baik pula setelah itu melakukan strategi yang tepat.

Mengutip perkataan dari Jihan tentang inti permasalahan ini yaitu “If you want to change someone’s habit, apalagi yang merusak lingkungan, anda harus menjadi awal bagi mereka” Intinya adalah jika kita ingin mengubah gaya hidup seseorang menjadi lebih cinta lingkungan, mulai lah dari diri sendiri. Memberi contoh kepada orang lain dan melakukan personal approach yang mana hal tersebut akan lebih berdampak terhadap orang yang menerimanya.

Jadi, lingkungan adalah hal yang sangat berharga di dunia ini. Jika kita tidak bisa menjaganya maka ia juga tidak bisa menjaga kita dalam berkehidupan. Sayangilah bumimu, dan mulai perubahan!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Efektifkah Kartu Orange FISIP? (Hardnews)


Keefektifan penggunaan kartu orange dalam keamanan kendaraan bermotor di wilayah FISIP UNDIP.
            Sistem keamaan yang digunakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Diponegoro sangat unik. Adanya penggunaan ‘Kartu Orange’ sebagai kartu karcis untuk keluar-masuk parkiran.
            Seperti yang dikatakan Susilo sebagai penjaga parkir FISIP UNDIP, sistem ini telah berjalan sekitar 5 tahun dan sistem ini satu-satunya yang ada di wilayah UNDIP. Sejauh ini menurut beliau dengan adanya kartu ini menjadi sangat efektif, karena keluar-masuk harus menggunakan kartu dan jika hilang harus membayar Rp 20.000 sebagai ganti.
            Namun, dari dua sumber yang lain mengatakan bahwa mereka pernah menemukan teman mereka kehilangan motor.
            Farhan, Mahasiwa Komunikasi 2016 mengatakan, adanya kartu ini memang efektif namun masih kurang karena menurutnya jika hanya dengan membayar Rp 20.000 akan sia-sia kalau tidak memperlihatkan Kartu STNK juga. Seperti pengalamannya sendiri, Farhan pernah menghilangkan kartu tersebut dan hanya disuruh membayar uang dan menulis nama juga nim. Sedangkan ia sama sekali tidak diminta memperlihatkan Kartu STNKnya.  Sehingga sarannya akan lebih baik jika ada yang menghilangkan kartu, juga harus memperlihatkan kartu STNK.
            Keluhan lainnya yaitu tentang fasilitas parkiran yang kurang memadai. Seperti lahan parkir yang sempit untuk motor maupun mobil hingga pembatas yang tak kunjung diperbaiki. Juga keamanan parkiran mobil yang belum ada seperti halnya pada parkiran motor.
            Aca, Mahasiswa Administrasi Publik 2016, memberi saran untuk memperluas lahan parkiran agar lebih sesuai dengan jumlah mahasiswa di kampus. Dan menurutnya juga kehilangan motor yang terjadi kebanyakan dikarenakan oleh kelalaian pengendaranya sendiri karena meninggalkan kartu dan kunci di motor, jadi sebenarnya tidak ada masalah dengan sistem keamanan yang sudah ada ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS